Stop !!! Jadi Orangtua "Helikopter"
Buiten Zorg - Pengasuhan "helikopter" atau orangtua "helikopter" merupakan istilah yang dipakai untuk menggambarkan sikap orangtua yang selalu mengatur anak sampai ke hal terkecil sekalipun, bersikap terlalu protektif sehingga selalu membayangi anak di mana dan kapan saja.
Pengasuhan ala helikopter seperti ini justru tidak menumbuhkan kemandirian anak. Orangtua "helikopter" yang bersikap paranoid, sebenarnya adalah mereka yang tidak mampu mengatasi rasa khawatirnya terhadap anak.
Anda lah yang selalu menghubungi pengajar preschool si kecil untuk mengeluhkan berbagai hal. Termasuk protes ketika ada anak lain yang menyerobot antrian dan membuat anak Anda tergeser ke belakang. Anda lah yang tak merasa yakin si kecil bisa membersihkan dirinya sendiri di toilet, dan Anda membersihkannya kembali untuk membuat Anda merasa lebih tenang. Hal-hal seperti inilah yang kerap dilakukan orangtua helikopter. Kalau Anda merasa memiliki kebiasaan ini, sebaiknya hentikan mulai sekarang.
Pahami pengasuhan helikopter dan tinggalkan.
Cobalah ingat kembali ke masa kecil Anda. Bisa jadi orangtua Anda tidak terlalu protektif seperti Anda. Banyak faktor yang membuat orangtua masa kini cenderung lebih khawatir, cemburu, protektif terhadap anaknya. Seperti faktor teknologi, ekonomi, dan sosial. Anda harus menghentikan pengasuhan seperti ini. Carilah informasi yang tepat untuk mengasuh anak. Membludaknya informasi melalui dunia maya dan berbagai media lainnya, dapat membantu Anda.
"Anda bisa mencari informasi di internet untuk menemukan hal-hal yang menakutkan yang Anda khawatirkan terjadi pada anak. Anda juga bisa menggali berbagai macam penyakit yang mungkin bisa dialami anak. Dengan memiliki informasi yang tepat, Anda tidak memberikan ruang pada rasa takut dan khawatir," jelas Christie Barnes, penulis The Paranoid Parents Guide: Worry Less, Parent Better, and Raise a Resilient Child.
Margaret Nelson, profesor sosiologi Middlebury College, Vermont, dan penulis buku Parenting Out of Control: Anxious Parents in Uncertain Times mengatakan sikap orangtua yang terlalu protektif justru meningkatkan kecemasan pada anak dan membuatnya depresi.
"Meski Anda telah menyiapkan finansial dan berbagai fasilitas untuk anak, Anda tetap merasa khawatir anak tidak menduplikasi kesuksesan yang Anda miliki saat ini. Tanyakan kepada diri Anda sendiri, apa yang sebaiknya Anda siapkan untuk anak dan apa yang sebenarnya dibutuhkan anak. Temukan jawabannya, karena jika tidak orangtua akan terus menerus menyediakan berbagai hal termasuk bantuan yang berlebihan untuk anak," jelas Nelson.
Mundur perlahan.
Waktunya untuk mundur perlahan dari sikap Anda yang terlalu mengawasi anak termasuk terlalu protektif. Analoginya, jika Anda adalah pilot helikopter, mulailah untuk menyerahkan izin terbang, dan tinggalkan helikopter Anda meski Anda merasa nyaman dengannya.
Studi terkini di North Carolina State University, menunjukkan anak-anak yang diasuh dengan sikap protektif orangtua yang berlebihan cenderung takut melakukan permainan yang sifatnya spontan dan berhubungan dengan fisik. Para peneliti memelajari hal ini dari orangtua dan anak di 20 taman bermain berbeda selama dua bulan.
Penelitian juga dilakukan para psikolog dari University of Washington, melibatkan lebih dari 200 anak dan ibunya, berlangsung tiga tahun. Temuannya, ketika anak sudah memiliki kontrol diri yang baik, namun diasuh oleh heli-mom dengan terlalu banyak arahan dan tidak menumbuhkan kemandirian, justru anak-anak ini berisiko mengalami kecemasan dan depresi. Anak-anak ini berusia sembilan. Namun frustasi pada anak dapat terjadi di usia berapa pun dengan sikap orangtua yang terlalu mengarahkan dan protektif berlebihan.
Lalu apa yang sebaiknya dilakukan orangtua?
Nelson menyarankan sebaiknya orangtua terus mencari tahu cara terbaik untuk melepaskan dirinya dari sikap terlalu protektif terhadap anak. Meskipun, sebuah studi menunjukkan adanya keterkaitan antara masalah personal orangtua bahkan masalah pernikahan, dengan sikap protektifnya terhadap anak. "Fokuslah mencari informasi untuk menemukan cara terbaik melepaskan pengasuhan helikopter, bukan pada masalah personal," jelasnya.
Too Much Love Will Kill You
Beberapa waktu lalu gue ngobrol sama seorang teman, sebut aja Y. Topik perbincangan kita adalah tentang anak. Maklum, gue emak-emak, dia bapak-bapak, dengan anak yang umurnya gak beda jauh-jauh amat. Kita ngobrolin anak seorang teman lain, sebut aja L.
Y cerita kalo anak L yang baru lulus kuliah itu manjanya minta ampun. “Kemana-mana nggak mau naik bis atau ojek. Harus naik mobil, minimal taksi. Kalo minta sesuatu, harus dituruti. Kalo nggak, bisa ngamuk. Kalo ke mol, maunya ke mol kelas atas. Mol kayak PGC or Kalibata Mal gitu dia ogah, meski deket banget dari rumahnya. Minimal kudu ke Senci lah.”
Trus Y cerita, L sendiri sebenernya udah capek dengan sifat anaknya. Kata Y, “L ngaku, dia dan istrinya salah mendidik anak. Untung mereka masih punya anak satu lagi yang sifatnya justru kebalikan kakaknya yang manja. Anak kedua ini mandiri banget dan nggak suka minta macem-macem.”
Gue cukup kaget denger cerita Y soal anaknya L. Emang sih beberapa kali gue liat, L itu sering pontang-panting tanya ke gue kalo ada konser penyanyi yang penjualan tiketnya selalu antri kayak NKOTB dan Lady Gaga. L selalu bilang, anaknya pengen nonton dan minta bapaknya yang cariin supaya dia gak usah antri. Gue waktu itu udah mikir “Koq si L ini mau aja sih dikerjain anaknya.” Setelah denger cerita dari Y, gue baru mengerti.
Pantesan anaknya begitu. Ternyata emang bapaknya membuka celah dan rela untuk “dikerjain” anak sendiri. Gue jadi inget seminar parenting bareng Bu Elly dulu. Menurutnya, ada beberapa tipe ortu. Salah satu yang paling gue inget adalah tipe ortu helikopter. Artinya, ortu tipe ini diibaratkan kayak helikopter yang berisi bala bantuan. Tiap anaknya minta A, dia langsung kirim bantuan A. Minta B, dikirim bantuan B. Begitu terus terusan, tanpa henti.
Hasilnya, anak-anak dari ortu kayak gini pun susah mandiri sampe dewasa. Banyak yang untuk urusan pekerjaan minta dicariin bapak/ibunya. Urusan jodoh, bapak/ibunya juga yang cariin. Trus begitu berumahtangga, tiap ada konflik, bapak/ibu yang turun tangan. Begitu punya anak, bapak/ibu yang turun tangan ngurusin. Entah itu moril maupun materil maupun dua-duanya.
Gue sih sejujurnya mengakui, rasanya pengeeenn banget memberikan seluruh dunia untuk Nadira semampu gue. Pengeen banget tiap dia minta sesuatu, langsung gue kasih. Namanya ortu ya bookk. Ngeliat anak seneng, kita pasti ngerasa 1000x lebih seneng. Ibarat kata, emak boleh cupu asal anak keren selalu, hehehe.. Tapi gue sadar, mengabulkan semua permintaan anak itu tidak akan berdampak positif bagi dia maupun kita sebagai orangtuanya.
Pertama, ya kayak yang Bu Elly bilang. Secara psikologis, anak akan bergantung terus-terusan kepada ortunya. Dia tidak akan memiliki rasa tanggung jawab atas kelangsungan hidup dirinya sendiri. “Segala sesuatu akan disediakan Papa Mama, koq. Buat apa gue berusaha?” Gitu kali ya analoginya.
Kedua, sebagai ortu, kita kan juga punya batasan, baik moril maupun materil. Dan inget, manusia itu tidak pernah puas. Mungkin saat ini anak cuma minta sesuatu yang masih terjangkau oleh kantong kita. Kalau dikabulkan terus menerus, jangan kaget jika di kemudian hari ia akan meminta sesuatu yang waayyy beyond our reach. Kalo gitu, lantas kita mau ngapain? Mau nolak permintaan anak dengan alasan nggak sanggup, anak pasti nggak akan mau ngerti. Kan selama ini permintaannya selalu diiyakan, toh?
Ketiga, gue kan tipe yang pesimis berat nih ye. Meski udah nyiapin segala Asji, dana pendidikan, dana pensiun etc, siapa yang tau sih apa yang akan terjadi besok? Karena itu, kalo gue memberi semua yang diminta Nadira saat ini, emang ada yang bisa ngejamin tahun depan gue masih mampu melakukan itu semua?
Lebih gampang menyesuaikan diri dari hidup susah jadi hidup enak, dibanding sebaliknya, lho. Tapi ini gak berarti gue gak pernah beliin Nadira barang, baju, fancy food atau ajak dia jalan-jalan ya. Know your own limit aja sih, IMHO.
Apalagi, gue punya banyak banget contoh nyata teman dan sodara yang mengalami hal itu. Ada seorang teman lama gue yang ortunya tajir berat semasa dia kecil. Saat sang ayah meninggal, bisnis keluarga bangkrut karena ibunya tidak pandai mengelola keuangan dan kena ditipu kanan-kiri. Sementara warisan dari ayahnya habis untuk kebutuhan sehari-hari yang terbiasa hidup mewah.
Alhasil temen gue ini pun gamang. Dia anak tertua, dan adiknya yang berjumlah 5 orang, masih kecil-kecil. Secara logika, temen gue ini harusnya bantu perekonomian keluarga dong ya. Eh kenyataannya boro-boro. Masih aja hidup borju, meski dengan menghalalkan segala cara. Sampe sekarang hidupnya masih gitu-gitu aja, padahal udah punya 2 anak
Terus terang, buat gue (dan gue yakin juga buat orangtua pada umumnya), yang paling sulit adalah bilang tidak saat anak minta sesuatu yang IMHO, nggak kasih benefit apapun untuk dia atau cuma keinginan sesaat. Emang sih, hati terasa diiris-iris banget melihat sorot matanya yang sedih saat gue menolak keinginannya itu. Belum lagi omongan orang sekitar yang ngecap gue tega lah, pelit lah, etc.
Padahal, gue cuma berusaha ngedidik Nadira bahwa she can’t have all the things in the world. She has to know that everybody has his/her own limit. Meski hati terasa patah hati liat anak sedih, tapi ya harus dikuat-kuatin supaya anak gue jadi anak yang mandiri dan bertanggung jawab begitu dia dewasa nanti. Soalnya, kalo anak gue blangsak gara-gara salah asuhan, yang nyesel seumur hidup pasti gue dan suami sebagai ortunya kan?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar